Membangun Izzah Melalui Kegemaran Berinfaq

Oleh: Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc.
Bismillahirrahmanirrahim

Izzah (harga diri) dalam pengertian tidak menyandarkan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari pada seseorang/kelompok, tetapi hanya kepada Allah SWT, sebagai sumber rizki yang bersifat absolut, dan sumber dari segala sumber, adalah merupakan karakter dan watak seorang muslim dan mukmin. Izzah bukan sombong dan takabbur, tetapi justru rendah hati yang dibingkai oleh ketaqwaan, ketegaran dan keistiqomahan. Izzah hendaklah menjadi gaya hidup seorang muslim.

Izzah disamping dibangun melalui berbagai kegiatan ibadah, seperti shaum, shalat-lail, juga dengan menumbuhkan kegemaran berinfaq. Berinfaq dengan harta yang kita cintai, akan menumbuhkan izzah, dan akan menumbuhkan kekuatan tangan di atas (tangan pemberi), sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW:
“Tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (penerima).” (HR. Ahmad dari Ibn Umar).

Kegemaran berinfaq yang dilakukan secara terus-menerus akan menyebabkan optimisme dalam menatap setiap persoalan hidup dan menatap masa depan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 274: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Sebaliknya, menjadi peminta-minta dan mengandalkan pemenuhan kebutuhan hidup pada orang lain – padahal ia mampu bekerja, karena fisik masih sehat, apalagi usia masih muda – adalah perbuatan yang tidak terpuji, dan selayaknya dijauhi dan ditinggalkan.
Orang tidak akan pernah kaya karena meminta-minta, bahkan cenderung akan semakin miskin. Rasulullah SAW bersabda: “Ada tiga hal yang aku ketahui bahwa ketiga hal tersebut adalah pasti (benar). Yaitu tidaklah seseorang memberi maaf terhadap perbutan aniaya, melainkan Allah SWT akan menambahkan kemuliaan kepadanya; tidaklah sekali-kali seseorang merelakan dirinya untuk meminta-minta dengan tujuan untuk memperkaya diri, melainkan Allah SWT akan menambah kefakirannya dengan sebab perbuatannya itu (sifat meminta-minta); dan tidaklah sekali-kali seseorang merelakan dirinya bershadaqah demi mengharapkan keridlaan Allah SWT, melainkan Allah akan semakin menambah kekayaannya.” (HR. Baihaqiey dari Abu Hurairah).
Wallahu A’lam bi ash-Shawab.

Penunaian ZIS dan Silaturrahim

Oleh: Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc.

Silaturrahim – saling menghubungkan dan saling mempererat kekeluargaan serta persaudaraan – adalah salah satu ajaran Islam yang sangat penting. Ketaqwaan dan silaturrahim sering digandengkan dalam satu nafas dan satu redaksi, baik di dalam al-Qur'an maupun di dalam hadits Nabi. Misalnya firman Allah dalam QS. An-Nisa' [4] ayat 1: "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa taqwa tidak akan sempurna tanpa didukung oleh kegiatan membangun dan memperkuat silaturrahim, demikian pula silaturrahim tidak akan bermakna dalam pandangan Allah SWT, tanpa dilandasi dengan ketaqwaan.

Silaturrahim tentu saja bukanlah semata-mata bertemu secara fisik (bermuwajahah dan bersalam-salaman), akan tetapi juga dalam bentuk ta'awun (saling tolong menolong) antara seseorang atau sekelompok orang dengan orang atau kelompok lainnya. Tidak mungkin silaturrahim akan terjaga dengan baik, kalau tidak ada kesiapan untuk membagi dan memberi kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Anas, Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang tertidur karena kekenyangan, sementara tetangganya tidak bisa tidur karena kelaparan (padahal dia mengetahui dan dia membiarkannya), maka dia tidak dianggap (tidak termasuk) umatku (Rasulullah SAW)."

Penunaian ZIS (zakat, infaq dan shadaqah) salah satu tujuan utamanya adalah untuk membangun dan memperkuat silaturrahim, terutama antara kelompok orang yang berpunya dan orang-orang yang tidak berpunya (orang-orang miskin dan dhuafa).

Penunaian ZIS akan menumbuhkan perasaan saling menyayangi, yang merupakan esensi dan substansi dari silaturrahim. Orang yang suka ber-ZIS akan dekat dengan Allah, dekat dengan sesama Allah, dengan dengan syurga dan jauh dari neraka. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang pemurah itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan syurga, dan jauh dari neraka. Dan orang yang bakhil itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari syurga, dan dekat dengan neraka. Orang yang jahil (bodoh) tapi ia pemurah, itu lebih dicintai oleh Allah daripada ahli ibadah, tapi ia bakhil”. (HR. Tirmidzi).

Karena itu, mari kita tunaikan ZIS dengan penuh keikhlasan dan kesadaran, agar silaturrahim yang dibangun selama ini akan lebih bermakna dan berfungsi lagi. Sehingga kekeluargaan dan persaudaraan akan semakin terbangun dengan solid. Amien.
Dari : pkesinteraktif.com

Meningkatkan Kesejahteraan Fakir Miskin

Oleh: Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc.
Bismillahirrahmanirrahim

Secara eksplisit dikemukakan dalam UUD ‘45, bahwa fakir miskin dipelihara negara. Hal ini menunjukkan komitmen para pendiri negara ini untuk selalu memperjuangkan nasib mereka. Mereka adalah anak-anak bangsa juga yang tidak sepantasnya dibiarkan dan ditelantarkan. Jika membiarkannya adalah sama dengan menentang diktum-diktum yang terdapat dalam UUD ’45 tersebut.
Akan tetapi sangat disayangkan, turunan dari UUD ’45 tersebut, seperti undang-undang misalnya, tidak ada yang secara eksplisit menyebutkan keberpihakan kepada fakir miskin ini, meskipun harus diakui bahwa pemerintah telah mengeluarkan dana yang cukup untuk mengentaskannya. APBN tahun ini saja telah mengalokasikan dana sebesar 60 triliun untuk keperluan pengentasan kemiskinan.
Ketiadaan keberpihakan secara eksplisit inilah mungkin salah satu penyebab mengapa dari tahun ke tahun jumlah orang miskin di negara kita semakin bertambah. Berdasarkan data yang ada, tingkat kemiskinan tahun 2006 mencapai angka 39,5 persen, lebih tinggi daripada angka kemiskinan tahun lalu yang mencapai 35,1 persen. Begitu pula dengan angka pengangguran yang mencapai 11 persen di tahun 2006 ini. Keduanya menjadi indikator betapa bangsa kita masih belum mampu melepaskan diri dari keterpurukan ini.

Berbeda halnya dengan instrumen zakat. Secara jelas, tegas, dan gamblang , bahwa zakat itu ditujukan untuk memberikan kesejahteraan kepada fakir miskin. Disebutkan dalam QS. At-Taubah ayat 60, bahwa golongan yang pertama dan kedua yang berhak menerimanya, adalah golongan fakir dan miskin. Contoh yang lain misalnya, dalam pelaksanaan kewajiban zakat fitrah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dikemukakan, bahwa Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin, yang bertujuan untuk mensucikan jiwa orang yang berpuasa, dan untuk memberikan makanan pada fakir-miskin.”

Karena itu, diperlukan komitmen kita semua (pemerintah, Badan Amil Zakat, MUI, LSM maupun masyarakat secara lebih luas) untuk mendorong agar instrumen zakat ini semakin dimanfaatkan secara optimal. Zakat disamping dipandang sebagai kewajiban agama (rukun Islam yang ketiga), juga harus dianggap sebagai kebutuhan dan keniscayaan dalam mengangkat harkat dan derajat kaum fakir miskin.

Jika pengelolaan zakat, dilandasi dan dibingkai dengan undang-undang yang tegas yang tidak multi tafsir, dan dilakukan oleh Badan/Lembaga Amil Zakat yang amanah dan profesional, insya Allah kesejahteraan kaum fakir miskin akan semakin bisa ditingkatkan.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab.